Tak ada satupun penghujung hari ku lewati tanpa melihat bias
cahaya emas yang bertaburan pada peneduh diufuk barat. Temanku memang
hanya angin, tapi aku disini sabar
menunggu sampai datang seorang arjuna yang pundaknya akan menjadi tempatku
bersandar.
Rasa gundah sempat singgah dalam hati, dimana sinar mentari
terpenjara dalam gumpalan mendung. Tapi detik ini, cahaya yang menerobos lewat
celah awan telah memadamkan resah dalam hati. Aku selalu merasa menjadi makhluk
Allah yang paling beruntung, karena bayangan langit senja masih tertangkap
jelas diretina mataku. Walaupun engkau tak disampingku dipenghujung hari ini,
tapi kalbuku tetap damai dengan sekedar mengucap ‘sampai detik ini aku masih
menyayangimu dan selamat senja semestaku..’
Berkas yang menyilaukan itu telah hilang teralihkan oleh
bias-bias ungu. Sedangkan piluku belum jua tenggelam bersama sang surya.
Tangan-tanganku masih setia memeluk pasir. Akankah sampai pungguk memeluk
bulan, entahlah... Tapi asa ini masih senang hati mendekapku. Ini tentangmu,
iya.. masih tetap kamu.. yang terlihat besar dipelupukku tapi indah bolamatamu
terasa kabur saat memandangku. Aku akan menjadi tersangka saat aku berkata ‘hatiku
tergores karenamu’ Tapi hari dimana aku rapuh, aku akan tetap berdiri. Walaupun
aku hanya bisa menyertaimu lewat rangkaian kata usang yang mungkin tak pernah
kau toleh. Selamat senja pengisi hatiku..
Aku adalah hati yang tersandera dalam jeruji merah jambu.
Perih terasa kala hati menjerit tertakdir menjadi bisu. Jeritan ini teruntuk
rajutan cahaya yang tak bisa ku eja. Benar, kilauan jingga itu adalah dia senjaku.
Dia selalu datang diakhir cerita yang kan jadi kenangan. Dia adalah gemerlap
harapan yang selalu ku nanti. Tapi aku? Aku adalah sosok renta yang tak bosan
menganga menyaksikan berpasang burung kembali ke sangkar. Detak detik waktu
selalu memupuku dengan kesetiaan dan kesabaran. Karena senjaku memang tidak
disini. Diperaduan hulu dan hilir lah ia singgah. Dialah senjaku.. Berdiri
gagah diatas desir ombak, diufuk barat pesisir samudra.
Setelah sekian lama ku arungi samudra kesetiaan ditiap
cahaya senja, dahan-dahan kesabaran itu mulai rapuh ketika hati telah tertatih
mengikuti tiap jejak cinta. Hingga tetes keringat menjadi alasan mencuatnya
belenggu perasaan. Tahukah kau? Dibalik senyum simpul ini ada harapan yang
terus berguguran. Disisi lain, teka-teki rindu kian tak bisa dijamah. Entah
sampai kapan.. Bahkan kala sinar jingga itu telah redup, kerumunan kunang-kunang
menyelinap disela-sela jemariku. Inilahjawaban dari teka-teki itu, ku dapati
terbungkus suatu aksara yang mengisyaratkan bahwa aku harus menitipkan surat
rinduku pada sang rembulan dan menunggu sampai ada tangan yang akan
menggantikan posisi kunang-kunang ini untuk melengkapi sela-sela jemariku.
Kala rindu menjulang begitu tingginya. Derai air langit
telah merenggut indah bias senja. Ia mengental ditiap rintiknya mengulas tahta
hampa yang mendera hati. Hujan telah mengiringi hatiku, yang sedang
bersenandung lirih untuk senja yang tak pernah padam disudut bumi lain.
Senjaku... Irama rinai ini telah menautkan ‘bayangan’ dimana kita bisa merayapi
butiran hujan ini bersama. Seandainya.. Dihujan haru kelabu ini, engkau bisa
hadir disampingku. Walaupun aku harus menggigil atas percikan hujan, aku akan
tetap bahagia karena disana ada tatapan bola matamu yang selalu
menghangatkanku. Detik itulah akan terukir sepenggal kisah, rindu kita yang
selama ini terus memuncak.. akan meluruh disaksikan hujan & senja yang
sedang berdampingan.
Bias bening cahaya bintang menjadi salah satu alasan
merekahnya bibirku. Tetiba sebuah suara memecah simponi malamku yang sempurna.
Alunan nada indah nan syahdu menusuk dalam kalbu. Inilah aku.. Insan yang tak
akan jauh dari tanah untukku mengadu, walaupun kesendirian masih menyelimuti.
Tapi aku akan tetap setia menunggu makhluk gagahku sampai dimana aku
meng-Aminkan do’anya dan berada satu shaf dibelakangnya.
No comments:
Post a Comment