Sunday, 4 January 2015

Hakikat senja untukku | Pecinta senja | Perindu senja


Tak ada satupun penghujung hari ku lewati tanpa melihat bias cahaya emas yang bertaburan pada peneduh diufuk barat. Temanku memang hanya  angin, tapi aku disini sabar menunggu sampai datang seorang arjuna yang pundaknya akan menjadi tempatku bersandar.


Rasa gundah sempat singgah dalam hati, dimana sinar mentari terpenjara dalam gumpalan mendung. Tapi detik ini, cahaya yang menerobos lewat celah awan telah memadamkan resah dalam hati. Aku selalu merasa menjadi makhluk Allah yang paling beruntung, karena bayangan langit senja masih tertangkap jelas diretina mataku. Walaupun engkau tak disampingku dipenghujung hari ini, tapi kalbuku tetap damai dengan sekedar mengucap ‘sampai detik ini aku masih menyayangimu dan selamat senja semestaku..’


Berkas yang menyilaukan itu telah hilang teralihkan oleh bias-bias ungu. Sedangkan piluku belum jua tenggelam bersama sang surya. Tangan-tanganku masih setia memeluk pasir. Akankah sampai pungguk memeluk bulan, entahlah... Tapi asa ini masih senang hati mendekapku. Ini tentangmu, iya.. masih tetap kamu.. yang terlihat besar dipelupukku tapi indah bolamatamu terasa kabur saat memandangku. Aku akan menjadi tersangka saat aku berkata ‘hatiku tergores karenamu’ Tapi hari dimana aku rapuh, aku akan tetap berdiri. Walaupun aku hanya bisa menyertaimu lewat rangkaian kata usang yang mungkin tak pernah kau toleh. Selamat senja pengisi hatiku..


Aku adalah hati yang tersandera dalam jeruji merah jambu. Perih terasa kala hati menjerit tertakdir menjadi bisu. Jeritan ini teruntuk rajutan cahaya yang tak bisa ku eja. Benar, kilauan jingga itu adalah dia senjaku. Dia selalu datang diakhir cerita yang kan jadi kenangan. Dia adalah gemerlap harapan yang selalu ku nanti. Tapi aku? Aku adalah sosok renta yang tak bosan menganga menyaksikan berpasang burung kembali ke sangkar. Detak detik waktu selalu memupuku dengan kesetiaan dan kesabaran. Karena senjaku memang tidak disini. Diperaduan hulu dan hilir lah ia singgah. Dialah senjaku.. Berdiri gagah diatas desir ombak, diufuk barat pesisir samudra.


Setelah sekian lama ku arungi samudra kesetiaan ditiap cahaya senja, dahan-dahan kesabaran itu mulai rapuh ketika hati telah tertatih mengikuti tiap jejak cinta. Hingga tetes keringat menjadi alasan mencuatnya belenggu perasaan. Tahukah kau? Dibalik senyum simpul ini ada harapan yang terus berguguran. Disisi lain, teka-teki rindu kian tak bisa dijamah. Entah sampai kapan.. Bahkan kala sinar jingga itu telah redup, kerumunan kunang-kunang menyelinap disela-sela jemariku. Inilahjawaban dari teka-teki itu, ku dapati terbungkus suatu aksara yang mengisyaratkan bahwa aku harus menitipkan surat rinduku pada sang rembulan dan menunggu sampai ada tangan yang akan menggantikan posisi kunang-kunang ini untuk melengkapi sela-sela jemariku.


Kala rindu menjulang begitu tingginya. Derai air langit telah merenggut indah bias senja. Ia mengental ditiap rintiknya mengulas tahta hampa yang mendera hati. Hujan telah mengiringi hatiku, yang sedang bersenandung lirih untuk senja yang tak pernah padam disudut bumi lain. Senjaku... Irama rinai ini telah menautkan ‘bayangan’ dimana kita bisa merayapi butiran hujan ini bersama. Seandainya.. Dihujan haru kelabu ini, engkau bisa hadir disampingku. Walaupun aku harus menggigil atas percikan hujan, aku akan tetap bahagia karena disana ada tatapan bola matamu yang selalu menghangatkanku. Detik itulah akan terukir sepenggal kisah, rindu kita yang selama ini terus memuncak.. akan meluruh disaksikan hujan & senja yang sedang berdampingan.


Bias bening cahaya bintang menjadi salah satu alasan merekahnya bibirku. Tetiba sebuah suara memecah simponi malamku yang sempurna. Alunan nada indah nan syahdu menusuk dalam kalbu. Inilah aku.. Insan yang tak akan jauh dari tanah untukku mengadu, walaupun kesendirian masih menyelimuti. Tapi aku akan tetap setia menunggu makhluk gagahku sampai dimana aku meng-Aminkan do’anya dan berada satu shaf dibelakangnya.


No comments:

Post a Comment